Sebagai sebuah daerah, Kota Solo memang tidak memiliki lahan pertanian dan sejak dulu mengandalkan sektor jasa dan perdagangan. Akan tetapi, Solo dinilai memiliki potensi yang besar untuk pengembangan industri kreatif.
Walaupun hanya sebuah kota yang selevel kabupaten, Solo masuk dalam peta pusat industri kreatif di Pulau Jawa meski tidak berada di level pertama seperti halnya Bandung dan Yogyakarta.
Hasil penelitian Kantor Bank Indonesia (KBI) Solo bersama Pusat Studi Penelitian dan Pengembangan Manajemen dan Bisnis (PPMB) Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS) tahun 2010 mengungkapkan, Solo berpotensi di tiga subsektor industri kreatif, yakni kerajinan, fesyen, dan seni pertunjukan.
Deputi Pemimpin KBI Solo Bidang Ekonomi Moneter Suryono mengungkapkan, salah satu produk kerajinan yang potensial adalah mebel ukir, selain kerajinan rotan, ukir kaca, kulit, keris, dan batik.
Dari subsektor fesyen ada batik. Batik tulis Solo diekspor ke mancanegara dan menjadi lambang khas Indonesia. Bahkan, di Kota Solo kini sentra industri batik dengan berbagai skala terus bertumbuh seperti Kampoeng Batik Laweyan, Kauman, Tegalsari, Tegalayu, Tegalrejo, Sondakan, Batikan, dan Jongke.
Untuk subsektor seni pertunjukan, Solo adalah gudang seniman. Ada Institut Seni Indonesia (ISI) Surakarta dan Sekolah Menengah Kejuruan Negeri 8 yang dulunya konservatorium, serta puluhan sanggar tari, teater, dan musik yang menyediakan sumber daya manusia berlimpah. Ada juga Wayang Orang Sriwedari dan Ketoprak Balekambang.
”Potensi ini perlu didukung pemerintah, lembaga pendidikan, perbankan, serta industri wisata, transportasi, dan hotel,” kata Suryono, Kamis (9/12).
Data Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kota Solo menyebutkan, pada Oktober 2010, nilai ekspor mebel dari Solo mencapai 528.115 dollar Amerika Serikat (AS), sedangkan batik mencapai 911.991 dollar AS.
Selama beberapa tahun terakhir Solo juga gencar membentuk pencitraan kota melalui berbagai kegiatan seni budaya, seperti Solo International Performing Art, Solo International Ethnic Music, Solo Batik Carnival, dan lainnya. Namun, belum ada data yang mengukur sejauh mana sebuah pertunjukan mampu mendatangkan keuntungan ekonomi.
Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Solo hanya mencacat jumlah kunjungan wisatawan berdasarkan obyek wisata dan tingkat inap hotel. Hingga Oktober 2010, sebanyak 718.521 wisatawan domestik dan 22.583 wisatawan asing berkunjung ke Solo. Tingkat inap hotel hingga bulan Juni 2010 mencapai 528.937 orang. Tahun 2009, tercacat 1.054.283 wisatawan domestik dan 26.047 wisatawan asing berkunjung ke Solo.
Sayangnya, potensi ini belum tersinergi dengan baik sehingga industri kreatif sebagai penopang ekonomi masyarakat pun belum terlihat dan dirasakan semua kelompok masyarakat.
Peneliti dari PPMB UMS Anton Agus Setiawan mengungkapkan, dalam setahun sebenarnya ada 100 pertunjukan di
”Padahal, potensi ini bisa dimanfaatkan menjadi paket wisata yang menggabungkan seni pertunjukan dan pameran produk dalam sebuah kegiatan wisata di hotel,” kata Agus.
Pemerintah Kota Solo juga belum memiliki rencana induk pengembangan industri kreatif, belum ada formulasi pas dari sektor perbankan untuk pembiayaan industri kreatif, dan sering terjadinya salah komunikasi antara pelaku industri pariwisata dan seniman.
Kepala Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kota Solo Slamet mengatakan, rencana induk industri kreatif mulai disusun pada 2011. Pihaknya akan menjalin kerja sama dengan daerah lain untuk mendongkrak industri kreatif di Solo.
sumber : compas.com
1 komentar:
Artikel yang sangat bagus tentang kota Solo, semoga solo menjadi kota Budaya dan Pariwisata
Posting Komentar